
Oleh:
Rio Andre Winter Siahaan, SH, MH
Advokat dan Praktisi Hukum pada Hartamulya, Andryanus & Siahaan – Attorneys at Law
MENYOAL YURISDIKSI METAVERSE
KEY CONTACT :
Rio Andre Winter Siahaan, SH, MH
Advokat dan Praktisi Hukum pada Hartamulya, Andryanus & Siahaan – Attorneys at Law
MENYOAL YURISDIKSI METAVERSE
Banyak orang mulai membahas tentang metaverse. Dari berbagai sumber, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa metaverse adalah ruang virtual yang diciptakan untuk menyerupai dunia nyata, dimana orang-orang dapat melakukan berbagai aktivitas seperti bekerja, bermain dan bersosialisasi. Presiden Joko Widodo bahkan menyatakan metaverse adalah masa depan dan mendorong masyarakat agar siap untuk mengikuti perkembangan dunia digital. Harus diakui, metaverse memang semakin terasa dekat dan semakin nyata. Berita-berita menunjukkan adanya pembelian properti/tanah virtual di berbagai platform metaverse. Contohnya Tokens.com membeli tanah seharga USD2,5 juta di platform metaverse Decentraland, kemudian Republic Realm juga membeli tanah seharga USD 4,3 juta di platform metaverse The Sandbox. Mereka menyatakan harapan bahwa tanah virtual tersebut akan disewa atau dijual kepada pihak lain, atau mungkin akan jadikan mall virtual. Tidak berhenti disitu, merek-merek fashion ternama juga telah menyatakan rencananya untuk menciptakan dan menjual produknya secara virtual berupa NFT (Non-Fungible Token). Gucci, bahkan sudah NFT dari tas edisi terbatas mereka di Roblox.
Dari fakta-fakta di atas, ternyata transaksi di metaverse telah bernilai finansial (bahkan bernilai fantastis). Bagi orang awam tentu bertanya-tanya, untuk apa membeli tanah virtual senilai jutaan dollar, jika masih bisa membeli tanah yang nyata. Atau, untuk apa membeli barang fashion virtual dengan mahal, jika hanya untuk dipergunakan di dunia virtual juga. Jika membeli di dunia nyata, tentu barang tersebut dapat dipergunakan sehari-hari. Beberapa seniman juga mulai menggarap peluang menciptakan atau menjual karya seni di dunia metaverse. Intinya, semua hal yang menyangkut metaverse adalah menyangkut nilai ekonomi.
Dengan bersangkutpaut atau mengandung nilai ekonomi, sangat besar potensi munculnya sengketa atau setidak-tidaknya perselisihan hak. Jika terjadi hal demikian, muncul pertanyaan, yurisdiksi hukum mana yang berlaku di metaverse? Atau, hukum negara mana yang dapat diberlakukan di metaverse?
Banyak aspek yang harus diteliti untuk menjawab pertanyaan ini. Namun kita dapat memulai dari dua hal dominan yang terjadi dalam suatu metaverse. Pertama adalah hubungan transaksional antara creator/developer suatu metaverse dengan user/pemilik akun/avatar. Kedua adalah hubungan antara sesama user/pemilik akun/avatar di dalam suatu metaverse. Kedua hal ini tidak bermaksud membatasi aspek-aspek lain yang begitu luas dalam metaverse, hanya sebagai contoh dalam memahami penentuan yurisdiksi hukum saja.
Transaksi yang dilakukan antara kreator dan user, tentu menegaskan adanya suatu perikatan, baik dengan suatu kontrak tertulis ataupun tidak tertulis. Misalnya The Sandbox selaku kreator menjual tanah virtual kepada Republic Realm selaku pembeli. Transaksi itu jelas merupakan tindakan hukum berupa perikatan jual beli. Jika dilakukan dengan kontrak tertulis, sangat mungkin terdapat klausul mencantumkan hukum yang mengatur / governing law dan pilihan forum / choice of forum. Apabila tidak tercantum secara tegas, maka berlakulah penafsiran atas governing law maupun choice of forum -nya. Tentu akan dilihat siapa subjek hukumnya, The Sandbox dan Republic Realm akan diteliti status hukumnya dan dimana domisili mereka menandatangani/melangsungkan perjanjian tersebut. Sekalipun domisili dan hakikat subjek hukum kedua pihak tidak sama (tidak berasal dari satu negara), sangat mungkin menetapkan penafsiran yurisdiksi atas penyelesaian perselisihan atas transaksi jual beli tanah virtual di metaverse ciptaan The Sandbox, mengingat subjek hukumnya masih mempunyai bentuk yang jelas.
Permasalahan yang lebih sulit muncul ketika terjadi permasalahan yang bersumber dari hubungan antara sesama user/pemilik akun/avatar di dalam suatu metaverse. Jika ditelisik lebih jauh, hal ini sangat mungkin terjadi. Beberapa hari lalu, Mark Zuckerberg memberikan contoh nyata bagaimana metaverse akan dipergunakan sebagai tempat untuk bekerja, bermain dan bersosialisasi. Setiap user akan memiliki avatar-nya sendiri yang disebut seolah-olah sebagai citra dirinya. Bill Gates menyatakan hal yang sama, bahkan Microsoft telah meluncurkan Microsoft Mesh, sebagai wahana untuk melakukan rapat virtual dengan menggunakan avatar seperti yang dilakukan di suatu metaverse. Pada akhirnya, ketika semakin banyak orang memaknai metaverse sebagai suatu dunia alternatif dalam beraktivitas sehari-hari, akan sangat logis jika timbul perselisihan antara satu user dengan user lainnya. Perselisihan ini dapat berupa hubungan ekonomi, transaksional, atau bahkan tindak pidana penipuan. Seorang user yang memiliki properti di suatu metaverse, dapat saja menjual sebagian atau seluruh propertinya kepada user lain (tetangganya di metaverse). Bagaimana jika terjadi ketidakpuasan pasca transaksi? Bagaimana jika user selaku pembeli merasa ditipu karena ketidaksesuaian barang yang dibeli?
Ketika terjadi hal di atas, kembali muncul pertanyaan, yurisdiksi hukum mana yang akan diberlakukan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini tentu lebih sulit dibandingkan meneliti yurisdiksi transaksi antara kreator dan user. Sebab, transaksi antara satu user dengan user lainnya, sangat mungkin dilakukan tanpa kontrak tertulis. Selain itu, besar kemungkinan, masing-masing user tidak mengetahui secara pasti identitas yang legal dari user lainnya. Lalu ke pengadilan atau lembaga mana dapat diajukan tuntutan? Apakah pengadilan tersebut berwenang mengadili permasalahan yang timbul di dalam metaverse dan menyangkut objek virtual di suatu metaverse?
Mari kita sambut pertumbuhan metaverse dan perkembangan hukum yang terkait dengan hal tersebut.
Dari fakta-fakta di atas, ternyata transaksi di metaverse telah bernilai finansial (bahkan bernilai fantastis). Bagi orang awam tentu bertanya-tanya, untuk apa membeli tanah virtual senilai jutaan dollar, jika masih bisa membeli tanah yang nyata. Atau, untuk apa membeli barang fashion virtual dengan mahal, jika hanya untuk dipergunakan di dunia virtual juga. Jika membeli di dunia nyata, tentu barang tersebut dapat dipergunakan sehari-hari. Beberapa seniman juga mulai menggarap peluang menciptakan atau menjual karya seni di dunia metaverse. Intinya, semua hal yang menyangkut metaverse adalah menyangkut nilai ekonomi.
Dengan bersangkutpaut atau mengandung nilai ekonomi, sangat besar potensi munculnya sengketa atau setidak-tidaknya perselisihan hak. Jika terjadi hal demikian, muncul pertanyaan, yurisdiksi hukum mana yang berlaku di metaverse? Atau, hukum negara mana yang dapat diberlakukan di metaverse?
Banyak aspek yang harus diteliti untuk menjawab pertanyaan ini. Namun kita dapat memulai dari dua hal dominan yang terjadi dalam suatu metaverse. Pertama adalah hubungan transaksional antara creator/developer suatu metaverse dengan user/pemilik akun/avatar. Kedua adalah hubungan antara sesama user/pemilik akun/avatar di dalam suatu metaverse. Kedua hal ini tidak bermaksud membatasi aspek-aspek lain yang begitu luas dalam metaverse, hanya sebagai contoh dalam memahami penentuan yurisdiksi hukum saja.
Transaksi yang dilakukan antara kreator dan user, tentu menegaskan adanya suatu perikatan, baik dengan suatu kontrak tertulis ataupun tidak tertulis. Misalnya The Sandbox selaku kreator menjual tanah virtual kepada Republic Realm selaku pembeli. Transaksi itu jelas merupakan tindakan hukum berupa perikatan jual beli. Jika dilakukan dengan kontrak tertulis, sangat mungkin terdapat klausul mencantumkan hukum yang mengatur / governing law dan pilihan forum / choice of forum. Apabila tidak tercantum secara tegas, maka berlakulah penafsiran atas governing law maupun choice of forum -nya. Tentu akan dilihat siapa subjek hukumnya, The Sandbox dan Republic Realm akan diteliti status hukumnya dan dimana domisili mereka menandatangani/melangsungkan perjanjian tersebut. Sekalipun domisili dan hakikat subjek hukum kedua pihak tidak sama (tidak berasal dari satu negara), sangat mungkin menetapkan penafsiran yurisdiksi atas penyelesaian perselisihan atas transaksi jual beli tanah virtual di metaverse ciptaan The Sandbox, mengingat subjek hukumnya masih mempunyai bentuk yang jelas.
Permasalahan yang lebih sulit muncul ketika terjadi permasalahan yang bersumber dari hubungan antara sesama user/pemilik akun/avatar di dalam suatu metaverse. Jika ditelisik lebih jauh, hal ini sangat mungkin terjadi. Beberapa hari lalu, Mark Zuckerberg memberikan contoh nyata bagaimana metaverse akan dipergunakan sebagai tempat untuk bekerja, bermain dan bersosialisasi. Setiap user akan memiliki avatar-nya sendiri yang disebut seolah-olah sebagai citra dirinya. Bill Gates menyatakan hal yang sama, bahkan Microsoft telah meluncurkan Microsoft Mesh, sebagai wahana untuk melakukan rapat virtual dengan menggunakan avatar seperti yang dilakukan di suatu metaverse. Pada akhirnya, ketika semakin banyak orang memaknai metaverse sebagai suatu dunia alternatif dalam beraktivitas sehari-hari, akan sangat logis jika timbul perselisihan antara satu user dengan user lainnya. Perselisihan ini dapat berupa hubungan ekonomi, transaksional, atau bahkan tindak pidana penipuan. Seorang user yang memiliki properti di suatu metaverse, dapat saja menjual sebagian atau seluruh propertinya kepada user lain (tetangganya di metaverse). Bagaimana jika terjadi ketidakpuasan pasca transaksi? Bagaimana jika user selaku pembeli merasa ditipu karena ketidaksesuaian barang yang dibeli?
Ketika terjadi hal di atas, kembali muncul pertanyaan, yurisdiksi hukum mana yang akan diberlakukan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini tentu lebih sulit dibandingkan meneliti yurisdiksi transaksi antara kreator dan user. Sebab, transaksi antara satu user dengan user lainnya, sangat mungkin dilakukan tanpa kontrak tertulis. Selain itu, besar kemungkinan, masing-masing user tidak mengetahui secara pasti identitas yang legal dari user lainnya. Lalu ke pengadilan atau lembaga mana dapat diajukan tuntutan? Apakah pengadilan tersebut berwenang mengadili permasalahan yang timbul di dalam metaverse dan menyangkut objek virtual di suatu metaverse?
Mari kita sambut pertumbuhan metaverse dan perkembangan hukum yang terkait dengan hal tersebut.
Disclaimer : The review is subjective analysis of HAS Attorneys at Law for the purpose of its publication and is not a legal opinion that can be relied to perform any legal action. Readers shall release and discharge of any demand, claim, loss to HAS Attorneys at Law which not liable for any legal action performed based on the review above without any legal advise nor assistance from HAS Attorneys at Law. If you require further information of the above publication, please do not hesitate to contact us.
KEY CONTACT :
- Rio Andre Winter Siahaan, Partner, siahaan@has-law.com
- Agus Askin Harta Mulya, Partner, hartamulya@has-law.com
- Yohannes Andryanus, Partner, andryanus@has-law.com